Bangsa Indonesia sedang galau karena sejak era reformasi tahun 1998, pemerintahan sepertinya kehilangan arah dan orientasi dalam strategi sosialiasi dan pemantapan ideologi Pancasila kepada rakyatnya. Kondisi itu ditambah dengan perkembangan teknologi informasi yang banyak digunakan oleh sejumlah pihak mempropagandakan paham-paham yang cenderung kurang cocok dengan Pancasila.
Media sosial (Medsos) yang banyak digunakan warga dalam berkomunikasi, termasuk menyampaikan berita yang menyesatkan, makin marak terjadi. Kutipan sepotong-sepotong dari agama tertentu, kemudian memanfaatkan kesenjangan sosial serta suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) digunakan untuk memecah belah persatuan Indonesia. Semua itu makin membuat prihatin banyak warga, termasuk para pejabat di Tanah Air.
Belum lagi, sikap serta perilaku para elite yang tidak jarang baik secara verbal, bahkan perilaku konkret, misalnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), yang terliput serta tertayangkan berbagai media, yang makin sulit dijadikan teladan. Puncaknya, ada sebagian kalangan mulai mengusik serta mempertanyakan, bahkan ingin mengubah Pancasila sebagai dasar negara yang jelas tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Pertanyaannya bagaimana sebaiknya sikap seluruh rakyat Indonesia dalam upaya mempertahankan dan makin membumikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari? Menjawab pertanyaan inilah mungkin yang menjadi salah satu alasan kenapa Presiden Joko Widodo (Jokowi) membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP). Kehadiran lembaga ini sungguh tepat saat ini.
“Sudah lama dinanti oleh bangsa Indonesia sehingga langkah tersebut sangat tepat. Pembentukan UKP PIP disertai dengan pelantikan para Dewan Pengarah yang terdiri dari tokoh-tokoh nasional yang berpengalaman mengikuti denyut nadi perjalanan Republik ini dengan segenap napas perjuangan dan pengabdiannya masing-masing adalah suatu pilihan kenegaraan yang tepat,” kata Ketua Fraksi PDI-P MPR, Ahmad Basarah.
Memberi Contoh
Dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang, Gunawan Witjaksana, mengingatkan sejak 1908, Ki Hadjar Dewantara telah menyampaikan tiga pandangan mulia, hing ngarso sung tulodho, hing madya mangun karso, tut wuri handayani. Pada pandangan yang pertama, jelas dikatakan bagaimana sebaiknya para elite, para sesepuh dari tingkat yang paling luas, hingga yang terkecil (keluarga) mampu memberikan contoh baik dalam bersikap serta berperilaku, terutama di hadapan mereka yang lebih muda.
Ada lagi suri teladan verbal yang disampaikan para sesepuh di masa lalu. Gunawan mengatakan ada pitutur, sabdo pandhito ratu tan keno wola wali, ajining diri jalaran soko lathi, sak dowo-dowoning lurung, isih dowo gurung. Hal ini sebenarnya mengingatkan semua warga bagaimana seharusnya bersikap serta berperilaku. Prinsip kehati-hatian sekaligus perhatian serta sikap saling menjaga perasaan pihak lain sebaiknya diutamakan.
“Tampaknya membumikan Pancasila secara dogmatis serta melalui berbagai kegiatan sejenis cenderung kurang tepat. Meski model pemasyarakatan melalui penghafalan lima sila serta pemasyarakatan butir-butirnya tetap perlu dilakukan. Namun, yang lebih konkret melalui contoh sikap serta perilaku konkret. Melalui implementasi sila-sila Pancasila dengan sikap serta perilaku konkret, masyarakat cenderung lebih mudah memahaminya,” kata Gunawan.
Masyarakat butuh keteladanan dari para peminpinnya. Lebih mendetail Gunawan mengatakan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang dalam implementasinya di Indonesia selalu didasarkan atas kemanusiaan yang adil dan beradab. Itu perlu dicontohkan oleh sikap serta perilaku para elite agama apa pun, baik dalam berkhotbah, bersikap, maupun berperilaku terhadap pemeluk agama lain. Kebenaran secara hakiki sesuai dengan akidah serta keyakinannya masing-masing perlu saling dipegang teguh.
“Sila Persatuan Indonesia sebagai sila ketiga, dalam implementasi sederhana pun bisa dilakukan. Implementasi tersebut, antara lain dengan menghindari gibah (membicarakan orang lain) terhadap pihak lain, terutama dari sisi SARA karena sekecil serta sesepele apa pun, sikap serta perilaku kita (terutama perilaku komunikasi), bila menyinggung perasaan pihak lain, tentu akan sangat merugikan,” kata Gunawan.
Yang cukup rawan serta gampang memicu konflik lainnya adalah sila kelima Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Berbagai fakta korupsi, keserakahan, serta ketidakadilan harus segera diakhiri. Ini semua menjadi tantangan bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk bisa membumikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, apa pun profesi mereka.
Post a Comment Blogger Facebook